Selasa, 04 Januari 2011

Demi Sepakbola, Titik!

Jakarta - Perubahan itu mutlak harus terjadi. Perubahan ke arah yang lebih baik. Tujuannya hanya satu: demi sepakbola nasional yang lebih baik.

Kamis 27 November 2008 rumah di bilangan Cibubur itu tampak sepi. Tak tampak pemiliknya. Rumah beratap hijau itu belum mau menerima tamu wartawan sehingga para penjaganya hanya bisa mengizinkan mereka yang meminta komentar si pemilik menunggu di luar.

"Bapak saat ini sedang beristirahat. Kelihatannya dia kelelahan dan tampak kurang sehat. Kami tak bisa kasih izin karena kami tak mendapatkan instruksi," tukas salah seorang petugas keamanan.

Hari itu adalah hari ketika Nurdin Halid, si pemilik rumah, keluar dari Rutan Salemba pada pukul 06.00 pagi. Sudah lebih dari dua tahun hari itu berlalu --sudah cukup lama pula artinya. Namun, sejak saat itu kritikan dan desakan agar dirinya mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI berlangsung.

Bahkan sebenarnya seruan itu sudah bergaung lebih lama, sejak Nurdin masih mendekam di dalam ruang tahanan. Alasannya jelas, di lihat dari sisi mana pun tidak etis dan tak pantas sebuah federasi sepakbola nasional dipimpin seseorang yang berada di dalam tahanan.

Tapi mau bilang apa, kritik dan desakan itu dianggap angin lalu. Nurdin masih tetap memimpin PSSI sampai hari ini. Kongres Sepakbola Nasional yang diprakarsai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hampir setahun silam tak mampu mendongkelnya. Nurdin masih tetap di kursinya.

Jangan salahkan siapa-siapa kalau kini muncul banyak gerakan perlawanan terhadap Nurdin dan PSSI-nya. Ketika tim nasional yang tampil sepenuh hati di Piala AFF dipuja-puja, Nurdin dan PSSI-nya dilarang untuk kecipratan pujian. Mereka tetap dihantam kritik.

Seruan di dunia-dunia maya bermunculan. Semuanya satu suara, suara yang hampir sama seperti dua tahun lalu: Nurdin harus mundur!

Itu baru seruan. Dalam langkah konkret dan nyata, perlawanan itu muncul, salah satunya, dalam sebuah bentuk kompetisi baru bernama Liga Primer Indonesia (LPI). LPI menjanjikan sebuah kompetisi yang sarat akan perubahan: klub yang tak dibiayai APBD, wasit asing agar permainan lebih teratur dan terutama penegakan fair play.

Janji perubahan yang bagus, dan layak untuk dinantikan apakah LPI mampu memenuhi janjinya itu.

Masalah mulai muncul ketika PSSI tak setuju dengan munculnya LPI. Klub-klub yang membelot diancam dikenai sanksi. Pemain-pemain timnas yang bermain di sana pun tak lepas dari sorotan mereka. Bagi mereka hanya ada satu kompetisi yang sah: Liga Indonesia, termasuk di dalamnya adalah ISL.

PSSI pun mulai mengeluarkan dalil-dalil dan berbagai macam peraturan, termasuk di dalamnya bahwa LPI tak akan diakui oleh AFC. Tapi pedulikah LPI terhadap semua itu? Tidak.

LPI lahir dengan dana sendiri, klub sendiri dan para penontonnya sendiri (kelak). Sejauh ini mereka tak meminta juara dari kompetisinya bermain di kompetisi AFC. Anggap saja LPI adalah turnamen "antarsekolah", yang mereka lakukan hanyalah ingin memberikan sebuah kompetisi yang layak dan bisa memajukan sepakbola Indonesia.

"Beginilah sepakbola Indonesia, saya kira, seharusnya," ujar Arifin Panigoro, sang pencetus LPI, dalam peluncuran resmi kompetisi tersebut beberapa waktu silam.

Saya pribadi tak membela LPI. Tidak juga pro ISL. Buat saya, asal dua-duanya bisa bagus dan lebih bagus, tidak masalah. Yang harus diuntungkan cuma satu: sepakbola itu sendiri!

Harapan dengan munculnya LPI adalah ISL mendapatkan sentakan moral sehingga mereka mau berbenah ke arah yang lebih baik. Kalau kedua kompetisi ini berjalan dengan baik, tentunya mutu sepakbola nasional akan terangkat naik. Pemain-pemain yang dihasilkan oleh kompetisi tersebut juga lebih baik. Ujung-ujungnya, kualitas tersebut, idealnya, bisa menular kepada tim nasional--yang tentunya diharapkan bisa menghasilkan sebuah prestasi.

Tapi lagi-lagi PSSI bertindak bebal. Mereka keukeuh bertahan dengan segala aturan hukum dan peraturan -- sesuatu yang biasa mereka abaikan ketika tengah berada di atas.

Kalau mereka bisa bicara peraturan dan tatanan hukum, ke mana mereka ketika Nurdin dipenjara? Saat itu, dan mungkin sampai saat ini bisa terus diulang-ulang, kita bisa saja berbicara, "Dari sisi moral, tak pantaslah seorang narapidana memimpin federasi dari balik jeruji, apalagi sang mantan napi itu masih memimpin sampai saat ini."

Tidak ada komentar: