Mengapa GCG bagi bank begitu penting?
oleh Indonesian Corporate Governance Banking Watch pada 4 April 2011 pukul 18:50 ·
Pekan
lalu Bisnis Indonesia menyelenggarakan diskusi ahli mengenai Aplikasi
Good Corporate Governance (GCG) Perbankan, dengan narasumber Deputi
Gubernur BI Siti Fadjrijah serta melibatkan 20 bankir dari bank BUMN,
swasta maupun asing di Jakarta.Persoalan GCG di industri perbankan
tetap menjadi masalah krusial yang harus diperhatikan setiap pemangku
kepentingan yang terlibat dalam industri itu. Terkait dengan diskusi
tersebut, berikut artikel ekonom Bisnis, Rofikoh Rokhim.
Barangkali masih banyak pihak yang menganggap bahwa good corporate governance (GCG) adalah euphoria karena seperti menjadi jargon saja paska krisis ekonomi 1997/1998.
Semua lembaga internasional, regional dan lokal, ramai-ramai mengusung tema GCG itu untuk menyoroti memburuknya kondisi ekonomi, sosial dan politik di negara berkembang, termasuk Indonesia. Tidak ketinggalan kalangan pebisnis dan akademik ramai membicarakannya.
Krisis ekonomi membuka borok praktik buruk perbankan. Krugman (1998) menyebutnya bahwa krisis ekonomi di Asia-termasuk Indonesia-tidak lebih karena praktik buruk perbankan.
Hal itu terjadi karena liberalisasi perbankan yang tidak disertai sistem pengawasan dan rambu-rambu pengelola yang baik.
Di Indonesia, tidak lain adanya Pakto 88 yang membuat bank tumbuh dengan modal rendah (Rp10 miliar), bankir karbitan dengan pengalaman minim, serta tata kelola dan pengawasan yang buruk.
Hal itu membuat sebagian besar perbankan Indonesia mengalami gangguan mendadak ketika krisis ekonomi tiba. Selain karena pengelolaan banknya sendiri yang jelek, memburuknya kinerja korporasi, yang menjadi pelanggan, juga turut semakin membuat perbankan dalam kondisi sulit.
Korporasi di Indonesia masih bertumpu pada kredit perbankan, ketika dunia usaha melesu, kemampuan pengembalian kredit korporasi melemah.
Ujungnya, perbankan tidak dapat bergerak, kredit macet dan pembukukan kinerja negatif terjadi.
Akibatnya, GCG amat mendesak untuk direalisasikan. Mengapa? Indonesia adalah negara yang berbasis pada sistem keuangan perbankan seperti layaknya sistem keuangan di negara berkembang lainnya.
Bank masih merupakan sumber pendanaan memfasilitasi kredit modal kerja dan investasi, terutama untuk perusahaan baru baik skala besar, menengah dan kecil, selain untuk kegiatan ekspansi industri. Intinya, bank merupakan salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi melalui pembiayaan yang diberikan (King dan Levine, 1993).
Oleh karena itu, dengan adanya pengelolaan perbankan yang baik melalui aplikasi GCG maka hal ini akan meningkatnya efisiensi perbankan dan selanjutnya pertumbuhan ekonomi mengingat perbankan mempunyai sumbangan besar dalam perekonomian (Levine 1997, 2004).
Jika perbankan efisien maka hal ini akan membawa dampak positif bagi peningkatan keuntungan bank, besaran dana intermediasi bank, membaiknya kualitas pelayanan kepada nasabah, mendorong kemanan operasional, kesehatan perbankan serta yang paling penting keuntungan kepada shareholder dan stakeholder (Berger, Hunter, dan Timme, 1993).
Mengingat begitu pentingnya perbankan dalan sistem keuangan suatu negara maka praktik perbankan yang benar sangat diharapkan melalui aplikasi GCG sesuai dengan standar internasional dan nasional, sangat mendesak dilakukan otoritas moneter maupun perbankan sendiri.
GCG bank unik
Penerapan GCG perbankan dianggap unik karena bank memiliki karakteristik yang berbeda dengan perusahaan keuangan jenis lain maupun perusahaan non-keuangan. Keunikan perbankan terutama bila dilihat dari neraca yaitu aset perbankan rata-rata adalah kredit yang sebagian besar bersifat jangka panjang, sedangkan sisi liabilities adalah tabungan dan deposito yang memiliki sifat jangka pendek.
Pengelolaan yang tidak hati-hati akan menyebabkan terjadinya mismatch antara aktiva dan pasiva. Terjadinya mismatch dapat menyebabkan pembukuan negatif bagi bank.
Khusus untuk pengelolaan kredit maka kredit yang disalurkan tanpa hati-hati akan memunculkan kualitas kredit yang buruk dan akan membawa masalah bagi kesehatan perbankan. Kredit yang buruk, terutama terjadi karena kurang kehati-hatian manajemen (direksi dan komisaris) dalam mengelolanya dan tidak tertutup kemungkinan karena campur tangan pemilik dalam penyaluran kredit kepada pihak terkait.
Penyaluran kredit kepada pihak terkait dapat bersifat positif jika keterkaitan itu meminimkan risiko dan sebaliknya akan bersifat negatif jika justru menambah risiko gagal bayar akibat terjadinya moral hazard. Ba-gaimanapun, GCG menjadi kental ketika ada persinggungan kepentingan antara pemilik dan manajemen.
Sementara itu, kredit yang buruk dapat disimpan secara akuntansi dalam neraca perbankan untuk periode lama-mengingat sifatnya jangka panjang-sehingga perbankan mengalami kecenderungan vulnerable.
Meredam masalah dalam pengelolaan perbankan yang vital bagi perekonomian itu, maka pengelolaan perbankan berdasarkan prinsip-prinsip GCG tidak dapat dielakkan lagi. Adapun prinsip-prinsip dasar GCG secara global adalah transparansi yang menyangkut keterbukaan informasi dan proses dalam peng-ambilan keputusan.
Akuntabilitas tentang kejelasan fungsi dan tanggung jawab agar pengelolaan bank efektif. Tanggung jawab dalam mematuhi perundang-undangan dan prinsip pengelolaan sehat. Independensi pengelo-laan yang profesional tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak manapun. Keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholder.
Namun, perbankan adalah industri khusus sehingga pengejawantahan lima prinsip GCG itu perlu penafsiran yang tepat oleh Bank Indonesia maupun pelaku bisnis perbankan. Bank sentral tampak tidak tinggal diam dan telah menancapkan berbagai rambu-rambu tata kelola perbankan yang bagus dalam sebuah kerangka sistem yang dijadikan acuan dari segi struktur, mekanisme, dan output.
Mereka menetapkan ukuran aplikasi GCG dengan melihat efektivitas fungsi komisaris, direksi, komite audit, kepatuhan, auditor, kecukupan nilai perusahaan dan rencana bisnis, perlakuan terhadap pihak terkait, penerapan transparansi kondisi keuangan dan kondisi non-keuangan.
Bank Indonesia mengeluarkan peraturan PBI 8/4/2006 untuk pelaksanaan GCG bagi bank umum guna meningkatkan compliance terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan nilai-nilai etika yang berlaku umum di industri perbankan. Bank Indonesia menyadari bahwa pengelolaan industri perbankan yang buruk menyusul adanya liberalisasi tanpa peraturan dan pengawasan ketat.
Kompleksitas kegiatan usaha perbankan yang melebar menyebabkan risiko perbankan meningkat sehingga aplikasi GCG mendesak dan tidak dapat ditawar lagi. Selain itu, praktik GCG di tataran internasional sudah menjadi keharusan, demikian pula di tataran nasional juga selayaknya menjadi keharusan.
GCG telah pula dikukuhkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia sebagai pilar keempat dengan landasan berpikir bahwa aplikasi GCG akan memperkuat kondisi internal perbankan nasional.
Layaknya polisi lalu lintas, otoritas perbankan telah menerapkan rambu-rambu GCG dan perbankan diharapkan mematuhinya agar tidak kecelakaan, baik karena perbankan menerabas peraturan atau justru pengawasan yang lalai dari otoritas.
Perbankan pun hendaknya tidak segan-segan memberikan masukan kepada otoritas tentang peraturan yang seharusnya dikeluarkan. Ada titik ekuilibrium kepentingan pihak terkait dan regulasi bukanlah menjadi paksaan tetapi keharusan. Masyarakat juga dapat mengawasi otoritas perbankan dan perbankan dalam penerapnya.
Ada baiknya GCG dijadikan budaya perusahaan maupun pemerintahan yang terintegrasi dalam keseharian karena inti dari GCG adalah moral dan etika yang dibarengi dengan perangkat hukum.
Barangkali masih banyak pihak yang menganggap bahwa good corporate governance (GCG) adalah euphoria karena seperti menjadi jargon saja paska krisis ekonomi 1997/1998.
Semua lembaga internasional, regional dan lokal, ramai-ramai mengusung tema GCG itu untuk menyoroti memburuknya kondisi ekonomi, sosial dan politik di negara berkembang, termasuk Indonesia. Tidak ketinggalan kalangan pebisnis dan akademik ramai membicarakannya.
Krisis ekonomi membuka borok praktik buruk perbankan. Krugman (1998) menyebutnya bahwa krisis ekonomi di Asia-termasuk Indonesia-tidak lebih karena praktik buruk perbankan.
Hal itu terjadi karena liberalisasi perbankan yang tidak disertai sistem pengawasan dan rambu-rambu pengelola yang baik.
Di Indonesia, tidak lain adanya Pakto 88 yang membuat bank tumbuh dengan modal rendah (Rp10 miliar), bankir karbitan dengan pengalaman minim, serta tata kelola dan pengawasan yang buruk.
Hal itu membuat sebagian besar perbankan Indonesia mengalami gangguan mendadak ketika krisis ekonomi tiba. Selain karena pengelolaan banknya sendiri yang jelek, memburuknya kinerja korporasi, yang menjadi pelanggan, juga turut semakin membuat perbankan dalam kondisi sulit.
Korporasi di Indonesia masih bertumpu pada kredit perbankan, ketika dunia usaha melesu, kemampuan pengembalian kredit korporasi melemah.
Ujungnya, perbankan tidak dapat bergerak, kredit macet dan pembukukan kinerja negatif terjadi.
Akibatnya, GCG amat mendesak untuk direalisasikan. Mengapa? Indonesia adalah negara yang berbasis pada sistem keuangan perbankan seperti layaknya sistem keuangan di negara berkembang lainnya.
Bank masih merupakan sumber pendanaan memfasilitasi kredit modal kerja dan investasi, terutama untuk perusahaan baru baik skala besar, menengah dan kecil, selain untuk kegiatan ekspansi industri. Intinya, bank merupakan salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi melalui pembiayaan yang diberikan (King dan Levine, 1993).
Oleh karena itu, dengan adanya pengelolaan perbankan yang baik melalui aplikasi GCG maka hal ini akan meningkatnya efisiensi perbankan dan selanjutnya pertumbuhan ekonomi mengingat perbankan mempunyai sumbangan besar dalam perekonomian (Levine 1997, 2004).
Jika perbankan efisien maka hal ini akan membawa dampak positif bagi peningkatan keuntungan bank, besaran dana intermediasi bank, membaiknya kualitas pelayanan kepada nasabah, mendorong kemanan operasional, kesehatan perbankan serta yang paling penting keuntungan kepada shareholder dan stakeholder (Berger, Hunter, dan Timme, 1993).
Mengingat begitu pentingnya perbankan dalan sistem keuangan suatu negara maka praktik perbankan yang benar sangat diharapkan melalui aplikasi GCG sesuai dengan standar internasional dan nasional, sangat mendesak dilakukan otoritas moneter maupun perbankan sendiri.
GCG bank unik
Penerapan GCG perbankan dianggap unik karena bank memiliki karakteristik yang berbeda dengan perusahaan keuangan jenis lain maupun perusahaan non-keuangan. Keunikan perbankan terutama bila dilihat dari neraca yaitu aset perbankan rata-rata adalah kredit yang sebagian besar bersifat jangka panjang, sedangkan sisi liabilities adalah tabungan dan deposito yang memiliki sifat jangka pendek.
Pengelolaan yang tidak hati-hati akan menyebabkan terjadinya mismatch antara aktiva dan pasiva. Terjadinya mismatch dapat menyebabkan pembukuan negatif bagi bank.
Khusus untuk pengelolaan kredit maka kredit yang disalurkan tanpa hati-hati akan memunculkan kualitas kredit yang buruk dan akan membawa masalah bagi kesehatan perbankan. Kredit yang buruk, terutama terjadi karena kurang kehati-hatian manajemen (direksi dan komisaris) dalam mengelolanya dan tidak tertutup kemungkinan karena campur tangan pemilik dalam penyaluran kredit kepada pihak terkait.
Penyaluran kredit kepada pihak terkait dapat bersifat positif jika keterkaitan itu meminimkan risiko dan sebaliknya akan bersifat negatif jika justru menambah risiko gagal bayar akibat terjadinya moral hazard. Ba-gaimanapun, GCG menjadi kental ketika ada persinggungan kepentingan antara pemilik dan manajemen.
Sementara itu, kredit yang buruk dapat disimpan secara akuntansi dalam neraca perbankan untuk periode lama-mengingat sifatnya jangka panjang-sehingga perbankan mengalami kecenderungan vulnerable.
Meredam masalah dalam pengelolaan perbankan yang vital bagi perekonomian itu, maka pengelolaan perbankan berdasarkan prinsip-prinsip GCG tidak dapat dielakkan lagi. Adapun prinsip-prinsip dasar GCG secara global adalah transparansi yang menyangkut keterbukaan informasi dan proses dalam peng-ambilan keputusan.
Akuntabilitas tentang kejelasan fungsi dan tanggung jawab agar pengelolaan bank efektif. Tanggung jawab dalam mematuhi perundang-undangan dan prinsip pengelolaan sehat. Independensi pengelo-laan yang profesional tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak manapun. Keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholder.
Namun, perbankan adalah industri khusus sehingga pengejawantahan lima prinsip GCG itu perlu penafsiran yang tepat oleh Bank Indonesia maupun pelaku bisnis perbankan. Bank sentral tampak tidak tinggal diam dan telah menancapkan berbagai rambu-rambu tata kelola perbankan yang bagus dalam sebuah kerangka sistem yang dijadikan acuan dari segi struktur, mekanisme, dan output.
Mereka menetapkan ukuran aplikasi GCG dengan melihat efektivitas fungsi komisaris, direksi, komite audit, kepatuhan, auditor, kecukupan nilai perusahaan dan rencana bisnis, perlakuan terhadap pihak terkait, penerapan transparansi kondisi keuangan dan kondisi non-keuangan.
Bank Indonesia mengeluarkan peraturan PBI 8/4/2006 untuk pelaksanaan GCG bagi bank umum guna meningkatkan compliance terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan nilai-nilai etika yang berlaku umum di industri perbankan. Bank Indonesia menyadari bahwa pengelolaan industri perbankan yang buruk menyusul adanya liberalisasi tanpa peraturan dan pengawasan ketat.
Kompleksitas kegiatan usaha perbankan yang melebar menyebabkan risiko perbankan meningkat sehingga aplikasi GCG mendesak dan tidak dapat ditawar lagi. Selain itu, praktik GCG di tataran internasional sudah menjadi keharusan, demikian pula di tataran nasional juga selayaknya menjadi keharusan.
GCG telah pula dikukuhkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia sebagai pilar keempat dengan landasan berpikir bahwa aplikasi GCG akan memperkuat kondisi internal perbankan nasional.
Layaknya polisi lalu lintas, otoritas perbankan telah menerapkan rambu-rambu GCG dan perbankan diharapkan mematuhinya agar tidak kecelakaan, baik karena perbankan menerabas peraturan atau justru pengawasan yang lalai dari otoritas.
Perbankan pun hendaknya tidak segan-segan memberikan masukan kepada otoritas tentang peraturan yang seharusnya dikeluarkan. Ada titik ekuilibrium kepentingan pihak terkait dan regulasi bukanlah menjadi paksaan tetapi keharusan. Masyarakat juga dapat mengawasi otoritas perbankan dan perbankan dalam penerapnya.
Ada baiknya GCG dijadikan budaya perusahaan maupun pemerintahan yang terintegrasi dalam keseharian karena inti dari GCG adalah moral dan etika yang dibarengi dengan perangkat hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar